| dc.description | Pada 15 November 2016, The Global Entrepreneurship and Development Institute telah mengeluarkan Indeks Kewirausahaan Global 2017. Artinya, laporan ini dirilis lebih cepat daripada IKG 2016 yang dirilis Februari 2016.
Organisasi yang memiliki kantor pusat di Washington DC ini didirikan oleh empat universitas kelas dunia yang unggul dalam bidang kewirausahaan, ekonomi, dan kesejahteraan yakni; George Mason University, The University of Pecs, London School of Economics and Political Science, dan Imperial College London.
Indeks Kewirausahaan Global merupakan terobosan dalam mengukur kualitas dan dinamika ekosistem entrepreneurship baik pada skala nasional maupun regional. Metodologi pengukuran indeksasi ini telah divalidasi oleh berbagai media kelas dunia seperti The Economist, The Wall Street Journal, Financial Times, dan Forbes. Sumber pembiayaan GEDI adalah The European Union, The World Bank, dan berbagai korporasi serta bank-bank besar di dunia.
Indeks kewirausahaan Global diukur dengan mengalkulasi 14 pilar yakni persepsi terhadap peluang, keahlian dalam membangun sebuah startup, penerimaan risiko, jejaring, dukungan kultural.
Pilar selanjutnya adalah kesempatan untuk memulai startup, penyerapan teknologi, sumber daya manusia, kompetisi, inovasi proses, pertumbuhan yang kontinyu, internasionalisasi, serta risiko kapital. Ke-14 ini pada dasarnya merupakan pengejawantahan tiga komponen utama penyusun ekosistem kewirausahaan, yakni agensi, institusi, dan sistem.
Dibandingkan dengan data pada 2016 pengukuran indeks kewirausahaan Global 2017 ini memiliki dua hal baru dalam konteks metodologi. Laporan setebal 225 halaman ini kita memiliki pendekatan konseptual yang baru dalam menghitung indeks dalam sebuah negara.
Para ilmuwan tidak hanya sekedar menghitung 14 pilar indikator, tetapi juga menambahkan isu sosial yang sedang terjadi dalam setahun terakhir dalam negara yang sedang diukur. Berbasis data ini, GEDI akan memunculkan tema kekuatan atau potensi terbesar dari masing-masing negara.
GEDI juga menambah beberapa variabel pengukuran baru, misalnya kualitas pendidikan, infrastruktur, hak-hak properti, kualitas perpajakan, kebebasan buruh, iklim kompetisi, ketersediaan ilmuwan dan aktor kreatif, strategi dan keuangan korporasi, dan kompleksitas pasar.
GEDI menyoroti juga pentingnya pilar sumber daya manusia dan pemanfaatan serta penyerapan teknologi. Dalam perspektif GEDI, tiap negara akan dapat mencapai stase inovasi yang optimal saat mereka mampu memanfaatkan teknologi-teknologi yang diciptakan oleh negara lain.
Secara umum, hasil indeksasi kewirausahan Global 2017 juga menemukan bahwa adanya perbedaan tipologi pilar yang paling efektif dalam memprediksi ekosistem kewirausahaan disebuah wilayah tertentu.
Untuk wilayah Afrika misalnya, GEDI menilai pilar paling menonjol adalah kemampuan dalam hal kompetisi dan dukungan kultural. Daerah Amerika, baik tengah maupun selatan. Lebih menonjol dalam hal mengenali peluang dan kemampuan dalam memulai startup. Region kita, Asia, ditemukan sangat menonjol dalam haln kemampuan dalam mengenali peluang, proses inovasi, serta pengelolaan risiko kapital.
PERFORMA INDONESIA
Indonesia dilaporkan berada di peringkat ke-90 dari total 137 negara yang diukur. Jika cakupan ukurnya diubah menjadi Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 16 dari 24 negara di Asia Pasifik. Secara komparatif, sebenarnya peringkat ini membaik setelah di IKG 2016 Indonesia menduduki peringkat 103 di tingkat global dan 18 di tingkat regional.
Di IKG 2017 ini, nilai Indonesia mencapai 21% dalam hal nilai keseluruhan, 53% untuk nilai individual, dan 48% untuk nilai institusional. GEDI mencatat, jika Indonesia mampu memperbaiki kondisi 10% saja dari pencapaian saat ini, Indonesia dapat menambah US$535 juta untuk pemasukan negara.
GEDI mencatat bahwa Indonesia merupakan negara yang kuat dalam hal jejaring, namun lemah dalam hal pemanfaatan teknologi. Jika empat belas pilar yang menjadi indikator indeksasi ini dijadikan sebagai parameter performasi.
Indonesia memiliki nilai yang tinggi dalam hal jejaring (0,53), inovasi produk (0,49), dan kemampuan dalam memulai usaha (0,39), memiliki nilai yang moderat dalam hal penerimaan resiko (0,25), persepsi terhadap peluang (0,24).
Penilaian selanjutnya adalah inovasi proses (0,20), dan sumber daya manusia (0,19), dan memiliki nilai yang rendah dalam hal komunitas pertumbuhan (0,09), Internasionalisasi (0,04), dan penyerapan teknologi (0,03).
Temuan di atas setidaknya menggambarkan dua hal, pertama, Indonesia sebenarnya memiliki semua komponen kreativitas maupun modal sosisl yang dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem kewirausahaan yang baik.
Kombinasi jejaring, inovasi produk, dan kemampuan memulai usaha merupakan kekuatan yang menunjukkan bahwa aktor kreatif melalui startup bisnisnya dapat menjadi agen pertumbuhan ekonomi negara. Kreativitas dan modal sosial menjadi titik tolak yang baik dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi bangsa.
Namun, komponen-komponen diatas tidak cukup untuk dijadikan satu-satunya Kartu As dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Tantangan yang lebih besar yang muncul saat ini sebenarnya adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif yang mendorong munculnya kreativitas.
Dengan begitu, penerimaan risiko, sumber daya manusia, dan inovasi proses memungkinkan untuk dapat meningkat. Kreativitas akan menghasilkan luaran terbaiknya saat ada di sebuah ruang yang kondusif.
Kedua, perlunya sinergi dari semua kalangan, baik pemerintah, aktor kreatif, maupun korporasi untuk menggarap internasionalisasi dan penyerapan teknologi dalam ekosistem kewirausahaan.
Perkembangan teknologi informasi yang terintegrasi dengan berbagai ide kreatif tentang startup akan memungkinkan setiap usaha untuk dapat bergerak segendang-sepenarian dengan kebutuhan masyarakat, memecahkan masalah sosial, dan memiliki dampak yang lebih luas.
Pada gilirannya, natur dari teknologi informasi yang tidak mengenal batas fisik antarnegara akan mengantarkan aktor-aktor dan produk kreatif Indonesia semakin mengambil peran penting di mancanegara. | en_US |