Show simple item record

dc.contributor.authorWidiaduta, i Dewa
dc.date.accessioned2023-10-18T07:02:13Z
dc.date.available2023-10-18T07:02:13Z
dc.date.issued2017-02-08
dc.identifier.urihttps://dspace.uc.ac.id/handle/123456789/6717
dc.descriptionPada 3 September 1945, Residen Soedirman memproklamirkan pemerintahan RI di Jawa Timur dan disambut aksi pengibaran bendera di seluruhb pelosok Surabaya. Tanggal 26-27 Oktober 1945, beberapa pesawat terbang Inggris menjatuhkan selebaran yang memerintahkan agar penduduk Surabaya menyerahkan senjata. Tanggal 9 November 1945, ultimatum yang ditandatangai oleh Mayjend. E.S. Masergh ( panglima divisi tentara Sekutu di Jawa Timur) meminta rakyat menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum jam 18.00. bila tak melaksanakan, tanggal 10 November 1945 pagi akan ditindak dengan kekuatan militir Angkatan Darat, Laut dan Udara . kemarahan tentara Sekutu memuncak setelah Brigjend Mallaby tewas di tangan pejuang Surabaya pada penghujung Oktober 1945. Berturut-turut pada jam 21.00 dan 23.00 setelah melalui pemerintah pusat di Jakarta tak berhasil merubah pendirian pimpinan tentara Inggris untuk mencabut ultimatumnya, Gubernur Soerjo berpidato “lebih baik hancur daripada dijajah kembali”. Ungkapan itu menjadi semacam golden words yang menunjukkan gaya kepemimpinan Gubernur Soerjo. Sama seperti ketika Bung Tomo berpidato berapi-api untuk membakar semangat peperangan Arek-arek Suroboyo, tanpa disadari menjadi cerminan gaya kepemimpinan mereka. Sejarah mencatat, perang terbesar dan terberat dalam sejarah perebutan dan penegakan kemerdekaan itu memakan waktu 3 minggu dengan korban 6.000 milisi Surabaya meninggal dan 600 serdadu Inggris dan India tewas. Peringatan 71 tahun pertempuran 10 November yang melegenda di Surabaya, perlu dimaknai sebagai tinta emas peradaban bangsa untuk dikenang dan dikemas dalam sebuah atraksi wisata sejarah yang bernilai jual tinggi. Di berbagai negara di dunia yang maju pariwisatanya, sejarah mengundang antusiasme warga setempat dan warga dunia untuk berinteraksi langsung dengan panca indera generasi sekarang. Kita melihat misalnya, sejarah peradaban kebudayaan bangsa-bangsa dunia, baik itu Tembok Besar di Cina , Taj Mahal di India , maupun Candi Borobudur di Indonesia menjadi catatan sejarah hidup yang dapat disaksikan langsung oleh panca indra kita. Model dan mekanisme serupa mestinya juga dapat berlaku dalam konteks wisata sejarah kepahlawan (heroic trail). Surabaya misalnya, yang menjadi dasar penetapan Hari Pahlawan, sekaligus menyandang identitas Kota Pahlawan, dalam hal ini memang khas untuk dipakai sebagai model destinasi wisata sejarah kepahlawanan. Paling tidak, jika sejarah diluruskan lagi, bahwa Bung Karno, proklamator RI, adalah anak bangsa yang dilahirkan di Surabaya. Selain Bung Karno, WR. Soepratman , pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, juga bersemayam di Surabaya. Beliau melepaskan nyawa dari raganya di jalan Mangga dekat Stadion Tambaksari, Surabaya. Masih ada pula goretan sejarah gemilang dalam peristiwa November 1945, makam Dr.Soetomo di jalan Bubutan dan Bung Tomo di pemakaman umum Jalan Ngagel, serta rumah kos HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh. Di Rumah Pak Cok (Panggilan HOS Tjokroaminoto) pernah tinggal orang-orang besar yang berjuang dengan idealisme masing-masing. Selain Bung Karno, Tan Malaka dan Semaun pernah indekos di rumah Pak Cok yang saat ini rumahnya masih bisa kita amati dengan mata telanjang. Persoalannya, sejauh mana upaya kita memanfaatkan keunggulan itu hingga menjadi sustainable competitive advantage. Memang sejarah tidak dapat berdiri sendiri. Sejarah mestinya disinergikan , dilibatkan dan disinkronkan dengan tren perubahan zaman. Rekam Jejak Pahlawan Sejarah kepahlawanan, perlu dikemas dan dikembangkan dengan sentuhan pariwisata. Berbarengan dengan itu, komitmen dan sinergi berbagai pihak terkait untuk mengembangan wisata sejarah kepahlawan di berbagai daerah di tanah air memiliki momentum pada pemberian gelar pahlawan di Hari Pahlawan ini. Situs situs sejarah tempat di mana para pahlawan dulu meninggalkan jejak hidupnya tidak dapat berdiri sendiri. Perlu ada atraksi dan kemasan untuk menarik minat pegunjung. Dalam bingkai yang lebih fundamen, riset dan pengembangan terkait sejarah kepahlawanan di berbagai daerah di Tanah air, menjadi payung yang menyatukan berbagai kekuatan industri kreatif untuk mencapai gol reinkarnasi sejarah kepahlawanan dalam produk-produk industri kreatif. Singkatnya , mengembalikan lagi narasi sejarah kepahlawanan di berbagai daerah akan lebih efektif jika itu memiliki dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Dari tiga hal itu, yang menjadi tolak ukur penting ialah sejauhmana competitive advantage berbagai daerah di Tanah Air dalam hal sejarah kepahlawanan mampu berdampak pada pengembangan ekonomi masyarakat (local economic development/LED). Karena itu, hati miris kita dapat digeser perlahan ketika misalnya warga di sekitar makam WR. Soepratman di Jalan Kenjeran Surabaya merasakan dampak ekonomi,sosial,dan budaya dari keberadaan maestro besar kita itu. Orang akan meningkatkan derajat rasa hormatnya pada pesarean WR. Soepratman ketika semakin banyak warga ziarah ke sana, membeli suvenir-suvenir tematik, menyaksikan dari dekat makam berlapiskan siluet bola yang sebelumnya hanya bisa dilihat dari televisi. Kondisi ini dengan catatan industri kreatif di bidang perfilman melakukan lebih dulu pendokumentasian profil WR Soepratman. Rekayasa serupa juga berlaku di tempat lain di mana ada jejak pahlawan, termasuk makam pahlawan pada umunya. Sampai di sini kita melihat, ada kaitan penting dengan pariwisata. Jika dipetakan, mengaproyek menghadirkan lagi sejarah kepahlawanan di berbagai daerah di Tanah Air diawali dari pelaku industri kreatif, lantas merambah ke sektor T-T-I (Tourism, Trade,investmen). Tri tunggal T-T-I menempatkan pariwisata sebagai pintu masuk LED. Sejarah kepahlawanan negeri kita akan terasa denyutnya lagi ketika makin banyak hati,mata dan telinga tertuju pada rekam jejak hidup pahlawan. Ketika pariwisata mulai berjalan, perdagangan mengikuti. Karena itu, sangatlah penting jika di tempat-tempat di mana ada jejak pahlawan, juga terjadi perdagangan. Baik itu suvenir maupun layanan jasa dalam rupa lain. Ketika pariwisata dan perdagangan berjalan,investasi akan datang dari tangan , telinga, dan mata orang-orang yang jatuh hati dengan wisata kepahlawanan di berbagai daerah. Jika demikian, seruan Bung Karno “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jas Merah) akan terwujud nyata pada anak cucuk pewaris negara ini. Selamat hari Pahlawan 2016.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisheradmin_libraryen_US
dc.subjectHeroen_US
dc.subjecttourismen_US
dc.subjectRed suiten_US
dc.titlePahlawan dan Pariwisata Jas Merahen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record