| dc.description | Jony Eko Yulianto (Dosen fakultas psikologi UC)
Jika kita merunut ke belakang, Swiss pada abad ke 18 adalah Negara dengan keterbatasan sumber daya. Melalui drama berjudul William Tell, penyair Friedrich Schiller bahkan menggunakan metafora orang-orang penggembala untuk menggambarkan keadaan Swiss saat itu. Kini peringkat Swiss di indeks inovasi global 2016 benar superior. Berdasarkan laporan indeks yag dikeluarkan oleh Universitas Cornell, INSEAD Business School dan Word Intellectual Property Organization (WIPO) pada 12 Agustus 2016, Swiss dilaporkan mempertahankan peringkat pertama selama 6 tahun berturut-turut. Pertanyaannya, bagaimana Negara federal di daerah pegunungan alpen ini menstransformasi keterbatasan, meraih prestasi, dan mempertahankannya secara kontinyu?
Ada 4 determinan inovasi di Swiss. Pertama, fokus Negara dalam memproduksi paten. Transformasi Swiss dalam hal inovasi dimulai ketika Negara memberikan prioritas dan fokus pada produksi hasil karya teknologi maupun non-teknologi dengan hak paten. Jumlah paten yang dimiliki oleh Swiss mengalami 3 kali perlipatan dalam rentang tahun1985 hingga 2016. WIPO bahkan mencatat bahwa pada tahun 2014 saja, terdapat 43.000 aplikasi paten yang didaftarkan menjadi kekayaan intelektual Negara. Pemberian ruang yang besar terhadap paten ini menarik untuk dicermati mengingat Swiss sebenarnya tergolong Negara yang memiliki pasar internal yang relative kecil dengan fragmentasi pasar yang tinggi. Namun, mereka tidak terjebak dalam skema kognisi yang pesimistis dalam memandang prospek inovasi di Negaranya. Sebaliknya, para pelaku industry dinegaranya. Sebaliknya, para pelaku industry justru menunjukkan optimisme dan keberanian dalam menyasar pasar mancanegara dan bahkan terdorong menghasilkan produktivitas tinggi sehingga dapat bersaing secara internasional.
Kedua, keberhasilan dalam memanajemen imigran. Secara historis, abad ke 16 hingga ke 18 merupakan periode di mana Swiss menjadi tujuan imigrasi yang melibatkan komunitas yang dinamakan Protestant Huguenots dari prancis. Mereka datang ke Jenewa sebagai imigran temporer. Banyak diantaranya mereka yang kaya memiliki kemampuan unggul dalam hal berdagang. Hal ini mengakibatkan industry permata dan berlian menjadi maju pesat sebelum kemudian dibatasi dan bahkan menjadi industry di larang oleh John Calvin sebagai pemimpin rohani. Satu industry yang tidak dilarang pada era John Calvin adalah jam tangan. Inilah akar maju pesatnya industry jam tangan di Swiss dan menyumbangkan devisa besar bagi Negara.
Ketiga, kolaborasi dengan inverstor internasional. Perkembangan Swiss dalam dunia industry membuat Swiss mampu menarik minat para pekerja-pekerja terbaik dengan kompetensi tinggi yang memiliki peran krusial dalam perkembangan ekonomi. Dari total seluruh dana pembangunan, pemerintah Swiss hanya memberikan kontribusi seperempat bagian. Sisanya merupakan bagian yang di buka untuk investor asing.
Fokus Perilaku Inovasi
Keberhasilan dalam memanfaatkan peranan investor internasional ini secara tidak langsung juga menunjukan kemampuan swiss untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi munculnya perilaku inovasi. Swiss merupakan Negara yang tergolong memiliki regulasi yang sederhana dalam hal memulai bisnis, level moderat dalam hal perpajakan dan akses yang mudah bagi investor internasional untuk menanam investasi.
Kreativitas dan inovasi tidak dapat tumbuh dari ruang yang penuh dengan tekanan. Sebaliknya lingkungan yang kondusif menstimulasi kreativitas. Lebih jauh, lingkungan yang kondusif ini juga menjadi faktor penarik pekerja-pekerja internasional yang memiliki daya saing untuk bergabung memperkuat Negara. Keempat, optimalisasi peran universitas. Berdasarkan indikator peringkat performa universitas dari indeks inovasi global 2016, Swiss berada di peringkat ketiga di bawah Amerika serikat dan inggris raya. Mengapa demikian? Universitas Zurich, Universitas Geneva, ETH Zurich dan EPF Lausanne merupakan institusi-institusi pendidikan tinggi di Swiss yang masuk ke dalam 100 besar universitas terbaik dunia. Dua nama terakhir bahkan mendapatkan mandate khusus dari Negara untuk mempromosikan inovasi dari Negara untuk mempromosikan inovasi melalui penciptaan teknologi yang berujung kepada paten.
Setiap tahun, kedua institute teknologi tersebut dilaporkan berhasil mengirimkan kurang lebih 2.000 ilmuwan jenjang master, dan 1.000 ilmuan tingkat doctoral yang bergabung baik di sektor privat maupun public. Sektor ini menyumbangkan kurang lebih 200 paten setiap tahun. Uraian diatas memberikan setidaknya dua pelajaran bagi Indonesia. Pertama, performa inovasi bangsa selalu berkaitan dengan seberapa jauh pemerintah dan masyarakatnya sepakat untuk menghargai kekayaan intelektual dan kreativitas untuk dapat tumbuh dan berkembang. Ketika kedua belah pihak sepakat bahwa ketika kedua belah pihak sepakat bahwa kreativitas perlu diberikan ruang untuk tumbuh, regulasi yang dibuat seharusnya koheren dan memfasilitasi.
Sungguh ironis ketika industry di Indonesia diharapkan mampu tumbuh dan menyumbangkan konstribusi bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi faktanya di lapangan actor-aktor kreatif justru terhambat, baik oleh regulasi yang berkenaan kemudahan menjalankan bisnis maupun hal-hal administrative dan biroktatis lainnya. Kedua, pemerintah, institusi pendidikan tinggi dan korporasi merupakan tiga elemen yang saling terhubung dalam peningkatan performa inovasi bangsa. Swiss mengajarkan kepada kita bahwa universitas dan korporasi tidak boleh terjebak dalam labirinnya masing-masing dan terputus hubungan dengan Negara. Sebaliknya Swiss menunjukkan bahwa proses pendidikan dan penelitian di dalam universitas dapat diarahkan untuk berfokus pada perilaku inovasi.
Korporasi tidak boleh terjebak pada kepentingan kapitalisme semata, tetapi mampu melakukan kajian-kajian pengembangan produk dan teknologi inovatif yang juga bermuara pada hal intelektual. Sudah saatnya pemerintah, institusi pendidikan tinggi dan korporasi bersinergi untuk memberikan dampak bagi masyarakat global. | en_US |