| dc.description | Awal bulan Mei warga kota terhenyak dan marah mendengar kabar dirata tanahkan bangunan cagar budaya di jalan mawar 10-12 surabaya. Tempat dimana bung tomo memekikkan pidato menggelegar yang membakar semangat juang arek-rek Suroboyo itu dihancurkan.
Sebelum di tahun 2013, Surabaya kehilangan catatan sejarah lainnya yaitu gereja sinagoga. Juga sebuah kehilangan besar untuk kota yang sebelumnya bisa menjadi catatan bahwa kota ini dulunya adalah kota dengan jiwa besar. Kota yang dapat mengakomodasi keberagaman dan kemajemukan. Peristiwa ini menjadi kasus criminal karena bangunan cagar budaya (BCB) dilindungi undang-undang. UU Cagar Budaya itu ada, mulai dari skala internasional, nasional sampai peraturan-peraturan skala kota. Perusakan atau penghancuran memang bisa karena ketidaktahuan, ketidak pedulian atau sengaja dirusak dan dirobohkan. Padahal BCB sangat penting untuk menjaga spirit kota yang wadahnya adalah BCB itu sendiri. Jadi upaya pelestarian BCB bukan hanya sekedar romantisme masa lalu saja. Tetapi lebih dari itu, karena tidak ada masa depan yang baik tanpa landasan dan belajar dari masa lalu.
BCB tidak hanya terkait dengan sejarah kebangsaan saja, disana juga mencakup perjalanan sejarah teknologi, seni dan budaya sosial, ekonomi, agama, dan banyak aspek lainnya. pemanfaatan BCB kemudian juga tidak sebatas melestarikan masa lalu, tetapi juga membuka kreatifitas-kreatifitas baru. Upaya pelestarian BCB tidak berhenti pada menjaga dan merawat saja. Namun juga upaya mengembangkan bahkan memasakinikan BCB tersebut. Fungsi utama dan pertama dari BCB dimanfaatkan sebagai museum. Dalam hal ini tujuan pendidikan manjadi sasaran utama. Tetapi memanfaatkan BCB untuk fungsi-fungsi lain di BCB sangat terbuka. Saat perjalanan di sebuah kota di belgia, sebuah gereja cantik nan anggun terlihat diujung jalan. Namun dalam gereja itu, kini tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah.
Interior gereja itu kini telah berganti. Bangunan itu kini digunakan sebagai sebuah toko buku. Bangunan masih kokoh dan sangat terawat. Pemanfaatan semacam ini sah-sah saja dalam konteks pelestarian BCB. Tugu kunstkring paleis Jakarta yang dulunya sebuah geleri seni yang terkenal, kini diubah menjadi sebuah restaurant eksklusif yang berkelas. Surabaya juga punya restoran de-soematra yang dulunya kantor arsitek, insiyur dan anemer. Interiornya cantik sekali namun perwajahannya tetap. Seperti juga sebuah rumah tinggal, kemudian ditempati sebagai kontor konsulat perancis. Akhirnya digunakan sebagai sebagai sebuah restoran fine-dine, the consulate. Memberikan kehidupan pada BCB, tidak hanya pada nafas dengan aktifitas saja. Tetapi juga akan lebih menjaga kelangsungan hidupnya jangka panjang yaitu dengan memberi nilai ekonomi. Kesadaran masyarakat untuk mengapresiasi BCB sudah baik. Bermunculanlah BCB yang digunakan sebagai kantor, bank, museum, tempat pameran, café dan restoran, rumah tinggal pribadi, tokoh dan masih banyak lagi fungsi-fungsi yang bernilai ekonomis tinggi. Tanpa mengurangi keberadaannya sebagai bangunan cagar budaya. Lalu mangapa masih ada pemikiran picik dengan membongkar bangunan cagar budaya?
Freddy H Istanto (Dosen arsitektur interior, Fakultas industry kreatif, Universitas Ciputra) | en_US |