| dc.description | Berawal dari hobi menyantap sushi, Albert Rahardjo kini menjadi salah seorang pengusaha muda yang sukses. Albert membuka gerai sushi pada 2009. Tepatnya saat dia masih menjadi mahasiswa semester empat di Universitas Ciputra Surabaya. Saat itu dia sangat ingin bekerja untuk mencari pengalaman. Namun, karena statusnya masih mahasiswa, Albert merasa tidak bisa maksimal dalam proses mencari pengalaman.
“Kalau mahasiswa, paling hanya bisa bekerja part time. Jadi, ya, Cuma gitu-gitu saja. Saya pikir, kalau membuka usaha sendiri, pengalaman yang saya dapat mungkin bisa lebih maksimal,” ujarnya. Jadilah, dia mencoba membuka usaha sushi di Surabaya, Albert mengaku, tidak ada tantangan yang berarti saat kali pertama membuka usaha. Meski masih berstatus mahasiswa, orang tuanya sangat mendukung untuk menjadi pebisnis. Dengan modal Rp. 50 juta dari orang tuanya, Albert membuka sebuah kios sushi kecil-kecilan di mall. Modal tersebut terbilang pas-pasan. Jadi Albert tidak boleh terlalu banyak mengadakan biaya tambahan yang melebihi modal.
Dalam pembukaan kios itu, Albert dibantu seorang desainer interior untuk mempercantik kiosnya. Soal menu, dia dibantu seorang chef hotel kenalannya. Pada awal pembukaan, dia menjual 20 menu sushi campuran (fusion). Mengapa fusion? ”Sebab sushi fusion lebih cocok dengan lidah dengan orang Indonesia. Lebih gurih, segar dan manis,”ungkap sarjana manajemen tersebut. Albert bisa memasak sushi otentik. Namun sushi otentik dirasa kurang cocok dengan lidah orang Indonesia. Albert mengaku tidak sulit dalam memilih nama untuk brand sushi-nya. Albert menamai gerainya dengan brand Peco Peco Sushi. Peco-peco adalah bahasa slang Jepang yang berarti lapar. Nama itu dipilih karena mudah dilafalkan dan cocok untuk bisnis kuliner.
Pada tahun 2009, sushi masih menjadi menu mewah di Surabaya. Rata-rata, harga sushi pada saat mencapai lebih dari Rp. 50 Ribu. Itu hanya sushi otentik yang dijual direstoran mewah dan hotel-hotel. Sementara itu, kios sushi fusion saat itu belum menjadi tren. “Orang kalau mau beli sushi berat dikantong karena mahal. Saya ingin bikin sushi untuk masyarakat middle class. Jadi, harganya lebih murah,”papar pria kelahiran 7 Februari 1990 tersebut. Bila di restoran mewah satu porsi sushi dibanderol Rp. Ro ribu, Albert saat itu berani menjual sushi mulai harga Rp. 20 ribu. Banyak biaya yang di tekan agar bisa menjual sushi dengan harga murah. Biaya operasional, sewa tempat, tenaga kerja dan lain-alin dibuat serendah mungkin. Dengan harga yang lebih murah dan rasa yang lebih sesuai dengan selera lokal, sushi fusion racikan Albert laris. Dia bisa mendatangkan hingga 200 customer per hari. Dalam waktu tiga bulan, Albert bisa balik modal.
Pada 2010, Albert mulai menambah empat outlet baru di Surabaya. Dalam pembukaan outlet baru ini, Albert mendapatkan pembelajaran. Dia merugi ratusan juta rupiah karena dua kali salah memilih lokasi. Lokasi yang dipilih terletak di mall. Namaun lokasinya cenderung tidak mudah dilirik pengunjung. Selain itu, Albert pernah salah membuka outlet outdoor di mall.lokasinya jauh dari tempat parkir. Kalau hujan, outlet tersebut kehujanan sehingga pengunjung jarang datang. Kerugian yang dialami cukup mengganggu kondisi finansial usahanya. Namun, Abert pantang menyerah. Dia tetap membuka outlet baru di lokasi yang lebih strategis. Pada 2012, Albert membuka outlet di Malang. Kini dia memiliki 14 outlet yang tersebar di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Jember dan Jakarta. Ada lima gerai Peco-peco Sushi yang berupa kios sisanya berupa restoran dan stan di foodcourt mall. Dalam sehari, Albert mampu menjual hingga 600 porsi dai 14 outlet peco-peco Sushi miliknya. Penjual peco-peco sushi juga dibantu dengan adanya layanan pesan antar (delivery ordr). Layanan tersebut sebenarnya sudah ada sejak 2009. Namun saat itu jumlah armada kurir yang dimiliki Albert terbatas.
Dia mengaku sangat terbantu dengan adanya layanan pesan antar dari provider ojek online. Selain praktis, tren konsumsi makanan masyarakat saat ini mulai bergeser dengan mengandalkan cara pemesanan via internet. Tahun ini Albert berencana membuka tiga outlet baru di Surabaya, Malang, dan Sidoarjo. Jumlah menu yang saat ini ada 60 akan ditambah sepuluh menu baru. “Menu itu harus banyak dan variatif supaya customer tidak bosan,”ungkap anak ketiga dari empat bersaudara tersebut. (rin/c5/noe)
Tips pengusaha kuliner:
Perhatikan lokasi
Lokasi sangat menentukan kesuksesan usaha kuliner. Kalau membutuhkan outlet di mall, pilih lokasi yang mudah dilihat pengunjung. Misalnya, didekat pintu masuk dan di dekat tempat parkir
Lakukan branding dan advertising yang konsisten serta baik
Meski lokasi sudah strategis, kalau branding-nya kurang kuat, pengunjung tidak akan tertarik untuk datang.
Jangan mudah menyerah
Kita tidak pernah tahu kapan usaha kuliner itu akan maju dan sukses
TERKENDALA KUOTA IMPOR
Menjual sushi bukan meski sushi otentik, memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangan yang dihadapi Albert di awal usahanya adalah mendapatkan bahan-bahan yang harus diimpor. Rupanya, pemerintah masih menerapkan batasan-batasan atas volume barang impor, terutama barang konsumsi. Batasan tersebut beragam, tergantung jenis barang yang diimpor. Meski pembatasan itu cenderung baik untuk mendorong pembelian barang konsumsi dari dalam negeri, industry kuliner, terutama makanan asing, terkena dampaknya.”saya jadi susah mendapatkan bahan baku dari importer,”keluh Albert. Beberapa bahan baku impor yang dibutuhkan Albert untuk outlet sushinya antara lain ikan salmon, daging sapi, beras jepang, rumput laut (nori) dan bumbu sushi. Bahan-bahan itu harus diimpor dari Jepang, Korea Selatan, Singapura, Thailand, Tiongkok dan Norwegia. Bahan baku impor tersebut sebenarnya bisa disubstitusi dengan bahan dari dalam negeri seperti daging sapi dan bumbu. Namun, kualitasnya tidak seperti yang diharapkan Albert. “Tidak sebagus dari luar negeri. Kalau akhirnya rasa produk kami jadi tidak enak, kan pasti customer complain,”ujarnya. Selain pembatasan kuota impor, harga barang konsumsi impor mahal karena dikenai pajak yang tinggi. Sampai saat ini Albert cederung idealis sehingga dirinya tetap tidak mau mengganti bahan impor tersebut dengan bahan dari dalam negeri.
Kalaupun harus membeli bahan impor dengan harga mahal, Albert rela melakukannya, itu lebih baik daripada mengganti dengan bahan baku dari dalam negeri, namun dengan resiko rasa sushi yang kurang enak dan tidak disukai pelanggan. “Sampai saat ini, kami masih bisa membuat sushi fusion yang murah meski bahan impor cenderung mahal. Tapi harganya naik terus, bisa saja harga jual sushi naik sedikit ‘jelas pria yang hobi nge-gym itu (rin/c23/noe) | en_US |