| dc.description | Bianglala atau kincir ria atau ferris wheel adalah struktur berbentuk roda (jentera), yang digantungi kabin-kabin penumpang bagian pelek. Ketika roda berputar, kabin tetap dalam keadaan tegak. Tidak sedahsyat roller coaster, tapi apa benari?
Menikmati kerlap-kerlip lampu kota dari atas bianglala. Pasti sangat indah. Tapi kalau suasana hati ketakutan bagaimana? Begitulah pengalaman Jeanny Kosh Mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya ini. Padahal, dia tidak sendirian. Ada mamanya, tante dan saudara sepupunya. Toh, mahasiswi International Business Management (IBM) ini ketakutan dan sempat menolak naik. Wajahnya pucat dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh. Apa daya baginya, saat itu masih duduk di SD.”Akhirnya dipaksa tente, diseret gitu, tangan saya. Ya, sudah daripada tidak ada teman di bawah, akhirnya ikut,”tuturnya kepada Surya. Jeanny membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya siap. Setelah cukup lama antre, tibalah gilirannya. Begitu kaki kanan melangkah di bibir pintu bianglala langsung keringat dingin menyerap. Dia merasa sangat berat mengangkat kedua kaki karena saking takutnya. Begitu berhasil masuk bagian tengah reaksi pemilik tinggi badan 157 cm ini hanya terdiam.
“Seperti badan tidak mau bergerak sama sekali hampir mirip patung,”lanjutnya dengan pipih memerah mengingat kejadian lucu saat kecilnya dulu. Waktu 15 menit ditempuh dalam satu kali putaran bianglala. Rasanya duduk seperti satu jam. Wajar saja, karena sebelumnya rasa takut sudah menggelayuti seluruh tubuhnya. Di tengah rasa takut itu, sang tante masih sempat menggoda dan menjahili. Sulung dari tiga bersaudara tak menghiraukan dan tetap berpegang erat pada pegangan kursi yang diduduki. Puncak ketakuta Jeany ketika gondola (tempat dia berada) mencapai puncak. Seketika kedua matanya terpejam dan tak ingin melihat sekeliling. Jemari tangan semakin erat memegang kedua tangan kursi. Keringat dingin semakin mengucur deras dari kulit putihnya, kepala pusing karena tak sanggup melawan rasa takut. Sang tente menggoda lagi, masa kalah sama adik sepupu. Dia saja berani,”lanjutnya. Kedua mata Jeany kembali terbuka setelah posisi bianglala berada di setengah putaran dan akan kembali turun. Namun tangan terus berpegang. Saat dibawah, barulah kedua tangan kecilnya lepas dan melangkah keluar dengan gemetar. “Saat keluar itu campur aduk rasanya. Senang karena sudah dibawah dan masih terbayang-bayang saat diatas,”tambah dara yang kini aktif kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Tari Tradisional ini. (fitra herdian a) | en_US |