Show simple item record

dc.contributor.authorSurya, S
dc.date.accessioned2023-11-01T07:45:21Z
dc.date.available2023-11-01T07:45:21Z
dc.date.issued2016-08-16
dc.identifier.urihttps://dspace.uc.ac.id/handle/123456789/6820
dc.descriptionDrahj Nuraini Lubis, 63, dosen Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), meninggal dunia setalah ditikam mahasiswanya, Roymardo Sah Siregar, 20 pada Senin (2/5) sekitar pukul 15.00WIB. Peristiwa memilukan itu terjadi bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional. Bukan kali pertama ini pendidik menjadi korban kekerasan dan pembunuhan. Pada 2007 dosen senior Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI Surwantji Sisworaharjo ditemukan meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan. Pada tahun yang sama, Thomas Sumarno, dosen senior Universitas Airlangga, mengalami hal yang serupa. Socrates, filsuf Yunani mempunyai pengalaman buruk dengan kematian. Bahkan kematiannya dikatakan sebagai kematian yang demokratis. Dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati oleh mayoritas 60 suara (280 melawan 220) dalam pengadilan rakyat di Athena. Kematian sosok filsuf itu membuat kita berkesimpulan bahwa dalam demokrasi klasik, fakta demokratisasi pun belum benar terbukti. Mungkin yang lebih benar adalah apa yang dikatakan murid dan sahabat Socrates, yaitu Plato, bahwa semua Negara di perintah secara buruk. Penindasan dan pembunuhan terhadap petani, nelayan, buruh, filsuf, pedagang, sastrawan, rohaniawan, seniman, dan pendidik adalah kejahatan terhadap eksistensi kehidupan sebuah bangsa. Bahkan mungkin dapat disetarakan dengan kejahatan hak asasi manusia (HAM) atas pembunuhan ratusan nyawa, sebab melalui tangan, hati, dan pemikiran mereka seharusnya eksistensi ratusan jiwa yang terangkum dalam sebuah bangsa dapat terawat dan terselamatkan. Plato dalam karyanya, politeina, menyatakan bahwa para pendidik adalah pilar kedua dalam sebuah tatanan Negara yang demokratis yang disebut sebagai para penjaga. Idealnya profesi ini tidak hanya memikirkan kepentingan dan seluruhnya harus mengabdi pada kepentingan umum. Maka, mereka perlu dikondisikan agar di antara mereka tidak berkembang berbagai kepentingan pribadi. Golongan para penjaga ini merupakan penyedia stok kader-kader calon pemimpin Negara (golongan ketiga). Adam Smith dalam karyanya, The Wealth of Nations, mendefinisikan pekerjaan-pekerjaan itu sebagai pekerjaan produktif, yang oleh karena profesinya memberikan bantuan secara langsung kepada sesamanya. Guru, demikian pula halnya dosen, diletakkan dalam profesi pekerjaan yang lebih produktif daripada politisi begitu pendapat Smith. Dalam wajah-wajah mereka (para guru/dosen senior) terpancar keindahan lantaran kerut dan guratannya tajam mencetak jejak apa saja yang telah membentuk kemungkinan hidup: kegembiraan, penderitaan, harapan, kekecewaan, kespian, pertarungan kekalahan, kemenagan dan di atas segalanya: kematangan (B. Herry-Pryono, 2010). Potret kematian dosen karena jadi korban pembunuhan adalah potret bangsa kita. karena pembentukan Indonesia sebagai bangsa adalah suatu gerakan dan guru atau dosen adalah pelaku utama yang memegang peran penting kematian seseorang guru/dosen karena pembunuhan bukanlah hal yang biasa. Mereka yang seharusnya sedang berada di tengah-tengah anak bangsa membentuk daya cipta dari kata, data, nalar, dan keluhuran yang saat ini sedang diremuk amuk kekerasan, keganasan uang dan tualang para preman justru dicabut dari hak kehidupannya yang mulia. Martabat dan eksistensi pendidik tidak sesakral profesi pejabat pemerintah, wakil rakyat, atau mungkin konglomerat. Bu Nur, Bu Wantji dan Pak Marno bukanlah figur publik yang kerap membuat sensasi atau actor perubahan politik yang kerap menjadi sumber berita. Beliau sosok guru (dosen) yang dikenal sederhana dan dari hari ke hari bergulat dengan pendidikan. Dalam konteks pendidikan kita, relasi guru-murid adalah relasi intimitas. Potensi kebaikan dan saling pendewasaan diri ada di dalamnya. Tetapi, tak lupa, potensi kekerasan juga ada di dalamnya. Ketika guru/dosen tidak lagi meyakini dan menyadari bahwa profesinya terkait berkait erat dengan tugas peradaban, serta ketika murid/mahasiswa tidak memaklumi proses pendewasaan ilmu, karakter, dan imannya dengan fasilitator seorang guru, niscaya relasi guru-murid menajdi sesuatu yang suram. Dalam konteks kematian beliau bertiga, mau tidak mau menyangkut eksistensi dunia pendidikan dan masa depan bangsa ini serta mencerminkan bagaimana sikap (perlakuan) masyarakat terhadapnya. Bagaimana mungkin seorang guru/dosen yang amat dihormati dan dikagumi murid/mahasiswanya ditemukan mati secara mengenaskan akibat pembunuhan? Bahkan, kekerasan itu tidak datang dari sumber yang jauh, tetapi kerap kali dari kalangan orang-orang dekat. Beberapa tahun lalu PBB menetapkan tema Peace, Youth and Development untuk perayaan Hari Perdamaian Internasional. Tema tersebut terkait dengan perancangan 2010 sebagai tahun kaum muda als (MDG fs). Kaum muda menjadi sentral peradaban, terkait dengan pembangunan dan bahkan perdamaian dunia. Di Indonesia, kaum muda berimpitan dengan problematika kaum muda itu sendiri dalam melepaskan diri dari ancaman penggangguran dan kemiskinan. Disinilah insan pendidik (dosen) menjadi mitra strategis di peradaban. Karena itu, membunuh dosen sebenarnya adalah membunuh peradaban bangsa ini. (*)en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectMembunuh Dosen Membunuh Bangsaen_US
dc.subjectDosenen_US
dc.subjectBangsaen_US
dc.titleMembunuh Dosen Membunuh Bangsaen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record