GAMBARAN TINGKAT KEBOHONGAN IMAJINATIF ANAK DI SEKOLAH TK X DAN TK Y DI MALANG
Abstract
Kebohongan imajinatif merupakan sebuah perilaku menceritakan sebuah cerita yang 
berlebihan dan tidak nyata. Kebohongan imajinatif adalah perilaku wajar yang 
dilakukan oleh anak dalam rentang usia 3-5 tahun. Namun demikian kebohongan 
imajinatif memiliki dampak negatif jangka panjang yang patut diperhatikan sejak 
dini. Dampak negatif jangka panjang dari perilaku berbohong imajinatif adalah anak 
akan kesulitan membedakan antara realita dan khayalan. Melalui survei awal yang 
sudah dilakukan diketahui bahwa banyak anak melakukan kebohongan imajinatif 
baik di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk 
mengetahui gambaran tingkat kebohongan imajinatif anak usia 3-5 tahun. Sampel 
dari penelitian deskriptif kuantitatif ini adalah 125 siswa dari sekolah TK X dan TK 
Y yang berada di daerah Wilis, Kecamatan Pisangcandi, Malang. Pengambilan data 
menggunakan teknik purposive sampling. Sumber data diperoleh melalui angket 
tertutup dan angket terbuka. Angket tertutup adalah tentang tingkat kebohongan 
imajinatif yang berisi 13 butir pernyataan yang sudah melalui uji validitas dan 
reliabilitas dengan alpha reliability 0,63. Angket terbuka adalah angket tentang 
keadaan demografi responden yang meliputi jenis kelamin anak, jenis kelamin orang
tua, tingkat pendidikan orang tua dan keadaan status sosial ekonomi. Angket yang 
dibagikan diisi oleh orang tua siswa dan dikembalikan untuk diolah. Pengolahan data 
dilakukan dengan menggunakan tabulasi frekuensi. Hasil yang didapatkan dari angket 
tertutup adalah 42.4% memiliki tingkat kebohongan imajinatif kategori rendah dan 
31.2% memiliki tingkat kebohongan imajinatif dengan kategori sangat rendah. 
Sedangkan hasil dari angket terbuka adalah sebanyak 52.3% anak berjenis kelamin 
perempuan. Tingkat pendidikan orang tua mayoritas adalah S1 ke atas yaitu sebanyak 
79.7%. Status sosial ekonomi mayoritas adalah ibu rumah tangga 36.2%. Tingkat 
kebohongan imajinatif yang rendah mungkin disebabkan oleh respon orang tua dan 
guru yang tidak tepat dalam mengelola kebohongan imajinatif anak. Dari hasil yang 
diperoleh dapat diketahui bahwa anak laki-laki cenderung memiliki imajinasi yang 
lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Dan semakin tinggi pendidikan 
orang tua maka semakin baik pola asuh yang diterapkan. Dengan mayoritas tingkat 
pendidikan orang tua adalah S1 keatas maka diasumsikan pola asuh yang diterapkan 
tepat sehingga kebohongan imajinatif anak bisa diarahkan dengan baik. Penelitian ini 
dapat digunakan untuk membantu orang tua dan guru memahami perkembangan anak 
sehingga bisa menerapkan metode pembelajaran yang mampu menantisipasi dampak 
negatif dari kebohongan imajinatif anak.
